Pendahuluan
Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk memberi suatu warna baru dalam pembelajaran matematika di sekolah. Model-model pembelajaran yang dikembangkan dari sejarah matematika, mungkin masih menjadi “barang baru” dalam dunia pendidikan kita. Tetapi tidak berarti hal ini tak dapat dilakukan, bahkan pemanfaatan sejarah matematika dapat dilakukan sekarang juga.
Apa manfaat sejarah matematika dalam pembelajaran di sekolah?
Menurut Fauvel (2000) nilai sejarah matematika meliputi tiga dimensi berbeda: (1) sebagai materi pembelajaran/kuliah, (2) sebagai konteks materi pembelajaran, dan (3) sebagai sumber strategi pembelajaran. Yang pertama dimaksudkan sebagai suatu pokok bahasan atau materi pembelajaran, yang membahas segi fakta, kronologis, maupun evolusi sejarah matematika. Hal ini tentu menyangkut banyak sekali aspek, dari fakta matematika hingga filsafat matematika. Sejarah matematika sebagai pokok bahasan mulai diberikan di tingkat perguruan tinggi walaupun bukan menjadi materi inti sehingga tidak setiap perguruan tinggi menyelenggarakannya. Yang kedua dimaksudkan bahwa dalam pembelajaran matematika, kita dapat mengambil soal-soal atau masalah awal dari sejarah matematika termasuk memberi perspektif humanis dalam pembelajaran dengan menampilkan hasil karya dan biografi matematikawan. Sementara yang ketiga dimaksudkan bahwa sejarah matematika memberikan alternatif cara atau strategi pembelajaran suatu pokok materi matematika.
Sejalan dengan makin diterimanya filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran, maka studi tentang penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran terus meningkat. Hingga kini sudah ratusan bahkan ribuan makalah dan penelitian yang berkaitan dengan penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran, baik di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Salah satu argumentasi kuat perspektif sejarah dalam pendidikan matematika adalah apa yang disebut sebagai phylogeny yang mengikuti ontogeny, yaitu perkembangan matematika dalam diri individu mengikuti jalan yang sama seperti perkembangan matematika itu sendiri. Walaupun pandangan ini tidak secara ketat diterima, tetapi telah memberikan dorongan yang kuat bagi usaha menggunakan sejarah matematika ke dalam pembelajaran.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran. Fauvel (2000) menyatakan terdapat tiga dimensi besar pengaruh positif sejarah matematika dalam proses belajar siswa:
1. Understanding (pemahaman)Pada tahap apa pun, perspektif sejarah dan perspektif matematika (struktur modern) saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh, yaitu pemahaman yang rinci tentang konsep-konsep dan teorema-teorema matematika, serta pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana konsep-konsep matematika saling berhubungan dan bertemu.
2. Enthusiasm (antusiasme)Sejarah matematika memberikan sisi aktivitas manusia dan tradisi/kebudayaan manusia. Pada sisi ini, siswa merasa menjadi bagiannya sehingga menimbulkan antusiasme dan motivasi tersendiri.
3. Skills (keterampilan)Yang dimaksud Fauvel bukan keterampilan matematis semata, tetapi keterampilan dalam hal: keterampilan research dalam menata informasi, keterampilan menafsirkan secara kritis berbagai anggapan dan hipotesis, keterampilan menulis secara koheren, keterampilan mempresentasikan kerja, dan keterampilan menempatkan dan menerima suatu konsep pada level yang berbeda-beda. Keterampilan-keterampilan di atas jarang diantisipasi dalam pembelajaran konvensional/tradisional.
Tentu saja perkembangan pemahaman, antusiasme, dan keterampilan tersebut bergantung pada apa yang dikandung oleh sejarah matematika yang disuguhkan, serta bagaimana sejarah matematika dipahami dan diimplementasikan dalam pembelajaran. Pengayaan sejarah matematika sebagai bahan untuk menarik kesenangan siswa pada matematika sudah merupakan langkah yang memadai. Syukur bila para guru memiliki kemampuan untuk mengambangkan model pembelajaran berdasarkan informasi sejarah matematika.
Di bawah ini beberapa manfaat yang berkaitan dengan penerapan sejarah matematika di sekolah yang dapat diambil, yaitu: (disarikan dari John Fauvel seperti dikutip Garner (1997) )
- Meningkatkan motivasi dalam belajar.
- Meningkatkan aspek humanistis matematika.
- Mengubah persepsi siswa terhadap matematika ke arah yang positif.
- Siswa mendapatkan kesenangan/kepercayaan diri dengan memastikan bahwa mereka bukan satu-satunya yang dihadapkan dengan masalah matematika.
- Mengurangi kesan bahwa matematika itu menakutkan.
- Dengan menyelami sejarah membantu menopang ketertarikan dan kegembiraan siswa.
- Dengan membandingkan terhadap teknik-teknik kuno, dapat memberikan nilai lebih pada teknik modern.
- Membantu menjelaskan peranan matematika dalam masyarakat.
- Memberikan kesempatan untuk bekerja lintas kurikulum dengan guru lain atau subjek lain.
- Membantu mengembangkan pendekatan yang multikultural.
Sesungguhnya sangat banyak cara yang dapat ditempuh sesuai dengan tujuan apa yang kita inginkan. Furinghetti (1997) menyarankan suatu taksonomi penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran, sbb:
1. Menginformasikan sejarah untuk mengubah image siswa tentang matematika,
Ini artinya guru dapat menggunakan sejarah matematika yang bernilai positif, seperti semangat para matematikawan dan kisah hidupnya yang menarik, kegunaan matematika di berbagai bidang ilmu, serta persoalan-persoalan yang menarik dari sejarah matematika, semisal tentang teka-teki dan permainan.
Tentang kisah hidup matematikawan memang agak jarang di buku-buku resmi, tetapi tidak berarti tidak tersedia di pasaran. Guru pun dapat mengakses internet untuk memperoleh informasi tsb. dengan cepat, mudah, dan gratis.
Beberapa yang dapat disebutkan antara lain: Thales (624 SM– ), Pythagoras (582 SM– ), Euclides (300 SM– ), Archimedes (287–212 SM), Apollonius (260–190 SM), Diophantus (250 SM– ), Liu Hui (abad ke-3 M), Tsu Chung Cih atau Zu Chong Zhi (480– ), Seki Kowa (abad ke-17), Aryabhata (abad ke-6), Brahmagupta (628 M–), Bhaskara (1114–1185), al-Khowarizmi (825– ), Tsabit ibn Qorra (836–901), al-Karkhi atau al-Karaji (1020– ), Omar Khayyam (1050–1125), al-Kasyi atau al-Kashi (abad ke-15), Fibonacci (1180–1250), Cardano (1501-1576), John Napier (1550-1617), Descartes (1596-1650), Blaise Pascal (1623–1662), Newton (1642–1727), Euler (1707–1783), Gauss (1777–1855).
2. Menggunakan sejarah matematika sebagai sumber masalah/soal,
Banyak masalah matematika dari sejarah yang dapat menjadi sumber pembelajaran atau pelengkap pembelajaran. Contohnya cara penyelesaian yang diberikan para matematikawan, dan soal-soal dari matematikawan. Beberapa sumber dapat disebutkan: saringan erastotenes untuk menemukan bilangan prima, sejarah Lou-Shu dari Cina dalam bentuk bujursangkar ajaib untuk melatih keterampilan berhitung dan penalaran, sejarah tentang ukuran dan ketelitian bangunan piramida di Mesir, penemuan pecahan desimal oleh al-Kasyi, penggunaan Batang Napier dalam konsep perhitungan (perkalian), penggunaan sifat bilangan 9 dari al-Khowarizmi, bukti teorema Pythagoras dalam segitiga secara geometris, metode Fang Ceng di Cina yang ekuivalen dengan metode Gauss-Jordan, determinan dari Seki Kowa, penemuan bilangan Pi oleh Archimedes, Tsu Chung Chih, Ramanujan, dan lainnya, serta masih banyak lagi topik sejarah lainnya.
3. Menggunakan sejarah matematika sebagai aktivitas tambahan,
Aktivitas tambahan dari sejarah matematika perlu dicoba untuk menambah kegairahan anak dalam belajar matematika, mulai dari yang sederhana semisal melukis atau mencetak poster matematikawan, gambar-gambar matematis dari sejarah matematika, hingga kegiatan eksplorasi dan eksperimen semacam mencoba teknik berhitung dari Brahmagupta, dan lain-lain.
4. Menggunakan sejarah matematika sebagai pendekatan alternatif mengenalkan konsep matematika.
Masalah-masalah berupa soal dari sejarah matematika dapat menjadi pendekatan alternatif pembelajaran konsep matematika (problem based learning). Contohnya, penggunaan soal yang memuat penggunaan FPB dan KPK dari sejarah matematika sebagai sumber pembelajaran tentang FPB dan KPK. Dapat pula kronologis konsep matematika dalam sejarah menjadi alur dalam penyampaian konsep matematika di kelas, contohnya dalam sejarah matematika orang mulai mengenal bilangan asli, lalu bilangan pecahan positif, lalu bilangan negatif dan nol, baru kemudian bilangan irasional. Dengan demikian, pembelajaran bilangan dapat dimulai dari pengenalan bilangan asli, lalu pecahan positif, bilangan nol (atau cacah), lalu bilangan negatif (atau bulat), dan kemudian baru pengenalan bilangan irasional. Tetapi tentu hal ini membutuhkan penyesuaian dalam hal penyajian materi.
Sementara Siu Man-Keung (1997) menyatakan terdapat empat level penggunaan contoh ilustrasi dalam sejarah matematika dalam pembelajaran di kelas yaitu:
- Anecdotes (cerita yang menyenangkan),
- Broad Outline (garis besar yang penting),
- Content (materi yang detail), dan
- Development of mathematical ideas (pengembangan gagasan matematika).
Terlihat bahwa dua level yang pertama merupakan level yang cocok untuk pembelajaran di SD, SMP, maupun SMA. Bagaimana cara pemanfaatannya, tentu tidak jauh berbeda dari yang telah dipaparkan di atas. Hanya saja untuk dua level yang terakhir, perlu kehati-hatian dalam menerapkan di sekolah, karena pemanfaatan sejarah matematika pada dua level terakhir tersebut menuntut kecermatan dan pemikiran yang lebih tajam yang cocok untuk sekolah menengah lanjutan (SMP) atau umum (SMA).
Demikian sedikit kajian tentang pemanfaatan sejarah matematika dalam pembelajaran matematika di sekolah. Tulisan ini masih berupa kajian awal, tetapi paling tidak dapat memberikan nuansa baru dan langkah awal bagi perkembangan pembelajaran matematika di sekolah.sumber : http://p4tkmatematika.org/2012/08/pemanfaatan-sejarah-matematika-di-sekolah/
Post a Comment
Tinggalkan Pesan Anda disini